pendidikan alternatif bagi anak miskin, terlantar dan anak jalanan

Anak merupakan generasi pewaris dan penerus pembangunan Bangsa, baik
buruknya pendidikan yang mereka terima dan alami akan turut menentukan baik
buruknya kelangsungan warisan pembangunan yang ditinggalkan pendahulunya.
Olehnya Bangsa Indonesia menetapkan Tanggal 23 Juli sebagai simbol dari pernyataan
kepedulian terhadap anak-anak dengan memperingatinya sebagai Hari Anak Nasional
(HAN), makna peringatan Hari Anak bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin
tidak ada artinya, terutama bagi mereka yang secara ekonomi (materi) berkelebihan
karena anak-anak mereka setiap hari tidak pernah berkekurangan baik sandang, pangan,
pakaian termasuk mainan dan rekreasi, tetapi bagi sebagian masyarakat, hari anak
memiliki makna yang amat besar terutama anak-anak yang secara sosial
tersisih/terpinggirkan dan ketinggalan dalam sistem pendidikan, dalam artian anak-anak
yang kehilangan haknya disekolah akibat miskin dan terkebelakang serta akibat
kerusuhan antar kelompok dibeberapa daerah yang membuat mereka harus mengungsi
dan kehilangan keluarga serta masa depan. Karena Pada peringatan Hari Anak Nasional
ini Pemerintah dan kalangan pengusaha bahkan selebritis akan memberikan “perhatian
ekstra” dengan publikasi besar-besaran di televisi maupun media cetak tentang anakanak
ini, lengkap pula dengan pemberian bantuan berupa peralatan sekolah, seragam dan
beasiswa. Anak-anak ini oleh masyarakat kelas menengah keatas ataupun kaum
intelektual disebut sebagai anak miskin, anak terlantar atau anak jalanan.
Anak-anak miskin jalanan dan terlantar ini dalam kehidupannya sehari-hari harus
bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup keluarga, mereka harus panas-panasan dibawah terik matahari ataupun berhujanhujanan.
Anak-anak seperti ini bila diperkotaan dapat dilihat didaerah-daerah
pembuangan sampah sebagai pemulung sampah, dijalanan sebagai pengemis, pengamen,
penjual rokok, penjual koran, tukang semir sepatu, tukang parkir, polisi cilik (pak ogah)
di simpang jalan, pengelap kaca mobil di sekitar parkiran, penyewa (ojek) payung
dimusim hujan dan penjual kantong plastik (kresek) atau sebagai pengangkut barang
(bakul pasar) dipasar-pasar tradisional serta kernet/kondektur pada bus antar kota.
kecamatan sedangkan anak perempuan biasanya melakukan pekerjaan mengasuh anak
yang lebih kecil dan bekerja sebagai pembantu dikeluarga-keluarga lain. Didaerah
pedesaan anak-anak tersebut dapat dilihat didaerah-daerah aliran sungai yang berbahaya,
di lokasi-lokasi pertanian/perkebunan atau didaerah pesisir pantai/nelayan. Fenomena
anak jalanan itupun akhir-akhir ini mulai bahkan semakin ramai di beberapa kota daerah
khususnya di pusat-pusat kota dan jalan-jalan raya yang mobilitas kendaraannya tinggi,
dipasar-pasar tradisional, terminal antar kota/kecamatan.
Anak-anak ini harus kehilangan haknya untuk bersekolah dan bermain bersama
teman sebayanya dengan penuh keceriaan dan kegembiraan selayaknya dunia anak, dan
terpaksa harus pula meninggalkan cita-citanya dengan bekerja, karena orang tua mereka
tidak mampu memikul biaya-biaya untuk beli buku, pakaian seragam dan keperluan
sekolah lainnya. Anak-anak miskin ini beresiko untuk bertumbuh sebagai orang-orang
yang berpendidikan rendah bahkan buta huruf sehingga kemungkinan besar mereka
menjadi orang-orang miskin masa depan dan akan menjadi generasi yang hilang (lost
generation) yang tidak pernah terlepas dari masalah seperti kekurangan gizi, pelacuran
usia dini yang sangat rentan dengan HIV/AIDS serta tindak kriminalitas. Data yang
ada menunjukan bahwa : Siswa putus SD usia 7 – 12 tahun tercatat 762.700 orang,
Siswa lulus SD usia 13 – 15 tahun yang tidak melanjutkan ke SLTP tercatat 4.346.586
orang, Siswa putus SLTP tercatat 765.000 orang, Anak usia dini yang belum terlayani
tercatat 11.923.198 orang, penduduk usia sekolah tapi tidak sekolah 13,9 Juta orang
(BPS, 1999). Jumlah itu bila ditambah dengan jumlah anak-anak pengungsi korban
kerusuhan dan kekerasan di beberapa Daerah akan semakin besar.
Menurut beberapa pemerhati anak miskin dan terlantar, baik dari kalangan LSM
maupun kalangan intelektual, ada hal yang patut mendapat perhatian dalam fenomena ini
yakni anggapan dari sebagian masyarakat bahwa anak bekerja sebagai wujud
partisipasinya terhadap ekonomi keluarga, serta anggapan sebagian masyarakat lagi
bahwa anak bekerja merupakan wujud dari eksploitasi anak yang bisa saja berasal dari
orang tua dan lingkungannya (kejadian-kejadian dikota-kota besar dalam keluargakeluarga
miskin), ataupun eksploitasi yang berasal dari pengusaha-pengusaha yang
sengaja mempekerjakan anak-anak karena upahnya rendah. Dari data BPS di laporkan
bahwa jumlah pekerja anak usia 10 - 14 tahun pada Desember 1998 bertambah menjadi
1.809.935 jiwa dari 1, 64 juta jiwa pada oktober 1997, sementara pekerja anak umur 5-9.
tahun pada Desember 1998 menjadi 203.000 jiwa yang jumlah peningkatan tajamnya
berada di daerah Pedesaaan (Imawan,1999). Berdasarkan hasil survey Angkatan Kerja
Nasional tahun 1998/1999 jumlah pekerja anak dikalangan anak sekolah tingkat
Sekolah Dasar terdapat 3,01 %, SLTP 4,89 %, tamatan SD tidak melanjutkan ke
SLTP sekitar 33,6 % dan tamat SLTP dan tidak melanjutkan ke SMU sebanyak 34,6
%.(Depdiknas 2001). Hal ini bertolak belakang dengan salah satu butir yang dinyatakan
dalam konvensi ILO nomor 138 tahun 1973 yang menyebutkan bahwa batas minimum
bagi anak untuk bekerja tidak boleh kurang dari 15 tahun. Tak bisa dipungkiri bahwa
jumlah anak usia sekolah yang terpaksa tidak bersekolah dan harus bekerja sebelum
waktunya (dibawah 15 tahun) dalam sektor informal, sektor perkebunan dan nelayan
terlihat meningkat terutama dengan semakin tingginya jumlah penduduk yang hidup
dibawah garis kemiskinan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan entah kapan
selesainya.
Berbicara tentang kemiskinan, oleh sementara ahli dikatakan bahwa
penduduk/anak-anak miskin di daerah Pedesaan adalah mereka yang tinggal dalam
daerah dimana tanahnya kurang baik untuk ditanami, produktivitas pertaniannya rendah
serta daerahnya kering. Dan hampir semua keluarga/anak miskin tinggal di daerah yang
relatif terpencil/terisolasi dalam artian tinggal jauh dari jalan-jalan besar sehingga akses
untuk informasi, layanan umum seperti sekolah, pelayanan kesehatan (rumah sakit) dan
pasar sangatlah terbatas. Sedangkan penduduk/anak miskin diperkotaan adalah mereka
yang tinggal didaerah kumuh yang padat penduduknya, bahkan ada yang tinggal di
tenda pasar yang kini berubah jadi tempat tinggal atau mereka yang tinggal didaerahdaerah
terlarang/berbahaya seperti daerah aliran sungai, lintasan kereta api, kolong
jembatan, tempat pembuangan sampah, yang sanitasinya buruk serta air yang
terkontaminasi dengan berbagai limbah, serta mereka yang tinggal di kamp-kamp
pengungsian akibat kerusuhan yang melanda beberapa daerah. Ukuran kemiskinanpun
berbeda-beda, ada yang mengukur kemiskinan dari segi konsumsi, kesehatan, tingkat
usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan yang kesemuanya masuk dalam
klasifikasi rendah. Ukuran-ukuran itu pada akhirnya membuat kemiskinan diartikan
sebagai : ”Ketidak mampuan mencapai satu standar hidup minimal”. (UNESCO. 1997).
Problema Pendidikan Dasar
Konperensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua menjelaskan bahwa
Pendidikan dasar diperluas sebagai pendidikan yang memenuhi kebutuhan belajar dasar
dari semua orang melalui berbagai sistem pengantaran, persekolah formal, pendidikan
nonformal/persekolah alternatif untuk mereka yang terbatas atau tiada akses pada
persekolahan formal. Berdasarkan hal tersebut diatas Indonesia melaksanakan program
Wajib Belajar 9 tahun bagi anak-anak usia 7 – 15 tahun melalui pendidikan dasar SD,
atau MItb dan SLTP atau MTs.
Harapan yang digantungkan dalam dunia pendidikan dasar cukup besar untuk
mampu mendorong berkurangnya penduduk miskin, akan tetapi kenyataan menunjukan
bahwa masih terdapat banyak sekali anak yang tidak sekolah dan putus sekolah dalam
kelompok-kelompok masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, keluarga yang
kurang beruntung secara ekonomi/miskin, anak-anak perempuan, dan penyandang
cacat. Hal itu disebabkan oleh belum maksimalnya pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat melalui pendidikan terutama pendidikan dasar, karena pada kenyataanya
kritik terhadap sekolah karena tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan
pendidikan dasar begitu besar pula, hal itu bisa dilihat dari apa yang dikatakan oleh
beberapa kritikus pendidikan dunia yang mengamati dan meneliti pendidikan di sekolah
seperti Paolo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, (1985), Pendidikan
sebagai praktik pembebasan (1987) dan Sekolah adalah Kapitalisme Licik, (1997), Ivan
Illick dalam bukunya Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (2000), serta Evert
Reimer dalam buku Matinya Sekolah (2000). Mereka menilai bahwa sekolah tidaklah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mampu berpikir kritis dan kreatif, karena
sekolah lebih mengandalkan hafalan-hafalan yang terkadang tidak dimengerti oleh
anak/siswa, mereka menuding sekolah hanya mampu menciptakan perbedaan
hirarki/kelas dalam masyarakat atau menjadi lembaga diskriminasi serta sekolah tidak
bisa mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan/hak asasi manusia karena menganakemaskan
sebagian kecil siswa dan menggusur anak-anak kaum miskin dari proses belajar yang
menguntungkan.
Kritik terhadap sekolah itu sendiri di Indonesia telah dilakukan oleh banyak pakar
dari berbagai bidang diantarnya Budayawan yang juga tokoh agama Katolik (Pastur) YB
Mangun Wijaya yang lebih dikenal dengan sebutan Romo Mangun.
Pendidikan dasar yang dilaksanakan saat ini hanya diperuntukan pada mereka yang akan
melanjutkan keperguruan tinggi. Dan pendidikan di sini tidak membuat anak-anak
survive dan Independen. Oleh karenanya tidak perlu heran bila terjadi pengangguran
intelek, karena para lulusannya lebih cenderung meminta pekerjaan ketimbang berkreasi
membuat lapangan kerja sendiri.
Hal yang sama terungkap dari laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh
UNESCO yang bekerja sama dengan UNDP tahun 1998 melalui program APPEAL
(Asia Pasific Programme of Education for All) yang mengidentifikasi bahwa pendidikan
dasar yang dilaksanakan saat ini tidak dirancang secara khusus untuk mengurangi
kemiskinan, program-program yang ada tidak difokuskan pada keaksaraan untuk tujuan
tertentu dan oleh karenanya program itu tidak mempunyai dampak pada kelompok
sasaran. Dari hasil penelitian itupun diperoleh bahwa susunan pembelajaran tidak
diorganisasikan pada hal-hal yang berhubungan dengan orang miskin. Sebab Kurikulum
yang ada sangat tidak memuat ketrampilan, disamping itu isi kurikulum seperti hak-hak
anak, hak-hak perempuan dan hak-hak manusia yang sangat diharapkan peduli dengan
orang miskin sangat jarang ditemukan.
Peran Pendidikan Luar Sekolah (PLS)
Ketika anak-anak miskin dan terlantar tidak dapat menjangkau pendidikan dasar
disekolah akibat tidak mampu membayar, tidak mampu beli buku, beli seragam serta
tidak mampu menyesuaikan waktu belajar karena harus bekerja mencari nafkah maka
PLS menjadi harapan tempat dimana anak-anak tersebut memperoleh pendidikan dalam
bentuk pengetahuan dan ketrampilan praktis yang mampu dia aplikasikan didalam
komunitas masyarakat dimana dia hidup. Dalam artian melalui PLS haknya yang hilang
disekolah dikembalikan lagi melalui kegiatan-kegiatan pendidikan di luar sekolah.
Karena PLS merupakan setiap usaha pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk
penyediaan dan penyampaian pengetahuan, ketrampilan, sikap mental yang relevan dan
fungsional, disamping itu upaya yang menjadi strategi/pemikiran PLS dalam proses
pembelajaran adalah “Bagaimana harus membangkitkan kemauan dan kebutuhan belajar
calon warga belajar maupun warga belajar“.Sebab pada kenyataannya dimasyarakat
dengan kata lain komunitas masyarakat miskin, untuk memiliki motivasi agar bisa maju
saja, sangatlah kecil dan hanya terdapat pada beberapa orang, bahkan lebih sering tidak.
ada oleh karena itu upaya yang dilakukan adalah memberikan penyadaran tentang
kehidupannya dan lingkungannya.
Bertolak dari kenyataan itu untuk mendukung pelaksanaan wajib belajar 9 tahun
pemerintah telah meluncurkan model belajar melalui Jalur PLS yakni pendidikan dasar
Kejar Paket A pemberantasan Buta Huruf dan Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B
setara SLTP dan Kejar Usaha serta Magang secara gratis untuk menjangkau anak-anak
miskin dan tersisih, dimana pola belajarnya disesuaikan dengan kebutuhan belajar dari
anak-anak tersebut menyangkut waktu belajar, tempat belajar yang bisa dilaksanakan di
rumah warga atau rumah kepala desa/tokoh masyarakat atau sarana-sarana umum
dilokasi dimana komunitas anak-anak itu hidup dan beraktivitas. Walaupun kenyataan
menunjukan bahwa pelaksanaan program-program tersebut masih memiliki kekurangan
disana-sini yang perlu dibenahi dalam menyongsong era pasar bebas,.
Model pendidikan alternatif oleh masyarakat dan LSM
Hal yang sama namun mungkin juga berbeda dilakukan oleh kelompokkelompok
masyarakat yang tergabung dalam LSM-LSM yang memang banyak
memberikan kepedulian pada pengembangan dan pemberdayaan anak-anak miskin,
yang sudah melakukan kampanye dan aksi tentang perlidungan anak-anak baik dari
eksploitasi (buruh pabrik/pekerja seks anak), perang, kerusuhan dan kekerasan seksual
(perkosaan/sodomi) dimasyarakat. Mereka melakukan proses pembelajaran bagi anakanak
tersisih ini dengan model pendidikan yang cukup bervariasi, karena LSM dalam
kegiatan pengembangan masyarakat terutama pada anak-anak miskin itu memiliki cara
tersendiri yang khas dimana prosesnya diawali dengan upaya “Pengenalan diri“. Dalam
artian mendorong masyarakat/anak-anak untuk mengenal secara menyeluruh,
kondisinya, kekuatan dan kelemahan-kelemahannya baik yang terlihat maupun yang
tidak terlihat
Proses belajar yang dilakukan ini merupakan model belajar PLS yang diberi
judul Pendidikan Alternatif yang dikhusukan bagi anak-anak miskin, terlantar dan
jalanan, hal itu dapat dilihat melalui program belajar yang dilakukan oleh Romo Mangun
melalui Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar yang diawali dengan pembangunan
perpustakaan terapung diatas perahu motor tempel yang singgah di didesa-desa tergusur
Waduk Raksasa Kedung Ombo guna memberikan sekedar kelanjutan pendidikan bagi
anak-anak korban penggusuran, dan ditindak lanjuti dengan pengiriman tenaga relawan
untuk mengajar anak-anak dengan pendekatan dialog melalui bincang-bincang tentang
segala hal disekeliling mereka sambil merangsang anak-anak itu untuk berpikir tentang
hal-hal mangapa kambing makan rumput dan manusia makan nasi, mengapa burung itu
bisa terbang, mengapa manusia harus makan, mengapa manusia harus bekerja, mengapa
manusia harus mencari uang, mengapa kita bisa makan serta kepada siapa kita berterima
kasih dan lain sebagainya yang bisa mengajak anak semakin berminat untuk mengetahui
segala sesuatu yang ada disekitarnya dengan bertanya-tanya, serta berani
mengungkapkan pendapatnya tentang sebuah peristiwa. Model pendidikan yang sama
dilaksanakan pula oleh Romo Mangun dan kelompoknya di Kali Code Jogyakarta
tempat dimana sebagian besar anak-anak miskin kota Jogya tinggal.
Hal penting yang harus dilaksanakan pada anak miskin adalah bagaimana
mengembangkan potensi mereka yang hanya mampu mengenyam pendidikan dasar atau
malah kurang dari itu, dalam artian anak-anak belajar mengajukan pertanyaan sendiri
secara kreatif dengan benar sesuai dengan permasalahannya dari pada menjawab
petanyaan orang/guru secara benar tapi tidak mengerti makna dari pertanyaan itu yang
lebih mengandalkan hafalan (Y.B. Mangunwijaya.1999). Bagi anak-anak miskin
mempelajari kegunaan dan mengelola kotoran ayam atau sapi, serta membedakan
kegunaan kertas koran bekas, kardus dan plastik bekas yang dilakukan para pemulung
akan jauh lebih bermanfaat dari pada belajar tentang pakaian adat daerah lain atau
mikroskop. Situasi anak miskin ini digambarkan seperti Daud yang harus melawan
Goliat atau Kancil dihadapan Harimau. Yang mana keduanya harus menggunakan
strategi cerdik dalam menghadapi kemungkinan yang amat tipis untuk keluar sebagai
pemenang.
Ada berbagai bentuk pendidikan alternatif yang telah dilaksanakan oleh
masyarakat baik perorangan maupun secara kelompok melalui LSM-LSM, seperti
“laboratorium edukasi dasar” oleh Romo Mangun dan Kelompoknya “Sekolah Tanpa
Dinding” ataupun “Sekolah Darurat Kartini” di Kolong Jembatan tol Rawa Bebek dan
Kolong Tol Jembatan Tiga Jakarta oleh si kembar Ryan dan Rossi atau (ibu kembar)
yang mengorganisir dan membelajarkan ratusan anak-anak miskin, terlantar yang hidup
dijalanan, dipembuangan akhir sampah maupun diperkampungan kumuh. Sekolah yang
katanya memiliki atap termahal di Indonesia bahkan Dunia karena terbuat dari beton
tebal dan panjang itu menampung puluhan bahkan ratusan anak-anak miskin, yang
belajar membaca, menulis, berhitung (calistung) dan bernyanyi gembira dengan penuh
semangat walaupun tanpa meja dan kursi.
Bentuk lainnya bisa seperti perpustakanan terapung atau belajar membaca dan
berhitung dibawah pohon ditengah hutan lindung dengan bantuan seorang
mediator/fasilitator perempuan seperti yang dilaksanakan oleh sebuah LSM bagi anakanak
Dalam Suku Kubu yang berpakaian cawat di Kawasan Taman Nasional di Propinsi
Riau, ataupun berupa kelompok kesenian kreatif oleh Sekretariat Anak Merdeka
Indonesia (Samin) di Joyakarta, Yayasan Anak Merdeka Indonesia di Bandung yang
mendorong kemampuan ekspresi anak-anak tersisih dalam bentuk, menerbitkan
majalah/cerita anak tradisional, cerita-cerita lisan, lagu-lagu ataupun gambargambar/
lukisan. Dalam kegiatan itu anak-anak duduk bersama membentuk lingkaran
kemudian berdialog dengan orang dewasa yang berkunjung ataupun mediator/fasilitator
yang ada dan bersama-sama membahas makna dari lagu, gambar dan cerita-cerita yang
ada. Situasi ini sangat berbeda dengan cara biasa, dimana orang dewasa memperlakukan
anak-anak layaknya orang dewasa, sedangkan pada kondisi lain anak-anak cenderung
dikuliahi, jarang dimintai pendapat atau mengajukan pertanyaan serta diberi kesempatan
berdialog. Model pendidikan alternatif lain yang dikembangkan di Kota-Kota
Metropolitan sepeti Jakarta, Surabaya dan Bandung adalah Rumah Singgah tempat
dimana anak jalan dan terlantar singgah untuk istirahat dan belajar yang dilaksanakan
oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia serta LSM-LSM lainnya.
Proses belajar PLS dalam bentuk pendidikan alternatif ini mengutamakan dialog
karena melalui dialog akan terungkap permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak itu.
Seperti kenapa dia harus bekerja sebagai pemulung, tukang parkir, mengemis, penjual
koran, kernet bus dan lain sebagainya, serta permasalahan yang dialami dalam bentuk
intimidasi, kekerasan seksual (perkosaan, sodomi) dan perampasan hak anak. Dalam
proses pendidikan ini guru yang ada berfungsi sebagai fasilitator/mediator untuk
menjelaskan sebab akibat. Karena menurut Paolo Freire Pendidikan yang sejati adalah
tidak dilaksanakan oleh A untuk B atau A tentang B, tetapi justru A bersama B dengan
dunia sebagai media. Dan Hanya dialoglah yang menuntut adanya pemikiran kritis,
yang mampu melahirkan pemikiran kritis. Tanpa dialog tidak akan ada komunikasi dan
tanpa komunikasi tidak mungkin ada pendidikan yang sejati (1985). Dalam suasana
dialog tidak ada tempat untuk arogansi, merasa berhak menggurui, merasa diri elite,
unggul dalam kebersamaan orang-orang terutama anak-anak yang saling mendidik.
Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya upaya untuk
membebaskan diri dari kebodohan, imbalan upah rendah, kekerasan dan adanya ketidak
adilan dalam masyarakat terutama untuk anak-anak miskin perlu dilaksanakan secara
konperhensif serta melibatkan semua pihak karena bentuk pendidikan anak miskin harus
mengandung nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, toleransi, solidaritas dan menghormati
alam serta berbagi dengan sesama. Dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti
pendekatan sosial budaya, managerial dan yang paling utama adalah model belajar yang
dipadukan dengan Life Skill Education yaitu pendidikan yang bermuara pada belajar
untuk pengambilan keputusan, pemecahan masalah, berpikir kreatif, kritis, pendidikan
ketrampilan fungsional dan ketrampilan berkomunikasi, dan kesadaran diri. Karena
pendidikan bagi anak miskin bukan tentang menghafal dengan benar pasal-pasal dalam
UUD 45, apa dan bagaimana menggunakan mikroskop, siapa penemu ini dan itu
ataupun berapa banyak kota besar di Indonesia, akan tetapi belajar bagi anak miskin dan
tersisih adalah bagaimana dia sekaligus dapat memperoleh pengetahuan, ketrampilan
dan penghasilan dalam artian pendidikan yang diajarkan benar-benar merupakan
kebutuhan mereka seperti belajar mengenal huruf kemudian bisa membaca, mengenal
angka kemudian bisa berhitung, bagaimana mengindar dari ancaman kekerasan dan
bahaya lainnya, bagaimana mengolah usaha, menghitung hasil usaha, bagaimana
meningkatkan pendapatan dan memperoleh pemberian kredit/modal, bahan, alat serta
bagaimana memasarkan hasil usaha/kerajinan agar anak-anak itu tidak hanya belajar tapi
juga memperoleh penghasilan. Karena anak-anak miskin itupun merupakan generasi
penerus Bangsa Indonesia yang perlu mendapat perhatian agar dapat bersama-sama
membangun Negara tanpa harus melalui konflik fisik ataupun sosial.
Pertanyaan terkini yang harus dijawab adalah mampukah SKB dan BPKB lebih
khusus lagi Pamong Belajar melakukan hal yang sama seperti mereka ?.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar